Surabaya – Ratusan massa dari GRIB Jaya Jatim memadati kawasan Jalan Dr. Soetomo, Surabaya, untuk menolak eksekusi rumah yang dilakukan oleh juru sita Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Massa membela pemilik rumah yang menghadapi eksekusi, dan menyerukan agar eksekusi tersebut dibatalkan.
Pembina GRIB Jaya Jatim, drg. David Andreasmito menegaskan, pihaknya akan membela masyarakat yang merasa terzalimi dan membutuhkan bantuan. Dalam orasinya, ia dengan tegas menyatakan penolakan terhadap eksekusi rumah tersebut.
“Bersihkan dirimu sebelum kamu dibersihkan. Kami dapat info bahwa (eksekusi rumah) ditunda, tapi kami meminta agar eksekusi ini dibatalkan,” kata David saat berorasi di atas mobil komando, Kamis (27/2/2025).
Setelah mendapat kabar bahwa eksekusi ditunda, massa GRIB Jaya Jatim akhirnya membubarkan diri sekitar pukul 10.30 WIB. Namun, David menegaskan, pihaknya akan kembali jika eksekusi tetap dilaksanakan.
Penundaan Eksekusi karena Tidak Ada Rekomendasi Keamanan
Juru sita PN Surabaya, Darwanto membenarkan bahwa eksekusi rumah di Jalan Dr. Soetomo No. 55 Surabaya ditunda. Ia menjelaskan, penundaan ini dilakukan karena tidak ada rekomendasi dari Polrestabes Surabaya.
“Dari ketua PN (Surabaya) selaku pimpinan, atas pertimbangan keamanan dari kepolisian, eksekusi ini ditunda,” ujarnya.
Awal Mula Gugatan hingga Eksekusi Ditunda
Penasihat hukum penggugat, Taufan Hidayat, mengungkapkan bahwa gugatan awalnya diajukan oleh Hamzah Tedjasukmana dan sempat kalah dalam persidangan hingga tahap Peninjauan Kembali (PK) pertama.
“Dilakukan jual beli setelah kalah, istrinya menjual lagi ke Rudianto. Rudianto ditetapkan tersangka, menjual lagi ke Handoko. Handoko melakukan gugatan, tapi kenapa tidak dilakukan saat 2016? Karena Rudianto masih hidup, kalau dia melakukan gugatan, Rudianto pasti ditangkap,” tutur Taufan.
“Tapi kalau 2020 Rudianto meninggal dunia, 2022 melakukan gugatan. Hingga kini, seharusnya perkara ini kalau mulai dari awal PK berkekuatan hukum, maka gugatan ketiganya juga harus berkekuatan, tidak bisa dalam objek yang sama,” imbuhnya.
Status Kepemilikan Tanah dan Bangunan Dipermasalahkan
Taufan menjelaskan, kepemilikan tanah dan bangunan tersebut sempat menjadi perdebatan karena adanya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya tidak mengetahui dari mana asal SHGB tersebut diperoleh.
“Awalnya dia pegang SHGB, tapi perolehan dari mana kita nggak tahu. Kalau saat ini, penguasaannya P3MB dari peninggalan Belanda. Bu Tri ahli waris dari bapaknya, beli saat itu masih Rp 400 juta. Jadi, rumah ini sebenarnya hadiah untuk Bu Tri dari ayahnya. Tapi, kemudian muncul gugatan ini semua,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa pihaknya memiliki bukti pembelian dari Angkatan Laut yang diakui secara hukum.
“Kami sudah ada bukti pembelian dari Angkatan Laut dan diakui. Karena yang bangun juga AL, sedangkan Handoko Wibisono, jual belinya tanah bangunan, dia tidak pernah membangun, tidak memiliki IMB apa pun atas hak rumah ini,” paparnya.
Isi Gugatan yang Diajukan Ra Tri Kumala Dewi
Sebelum rumah tersebut dinyatakan hendak dieksekusi, gugatan perkara ini diajukan oleh Ra Tri Kumala Dewi pada 15 Februari 2025. Dalam gugatannya, ia meminta PN Surabaya untuk mengabulkan seluruh permohonannya.
“Menyatakan penguasaan penggugat atas tanah negara yang terletak di Jalan Dr. Soetomo Nomor 55, Surabaya, dengan batas- batas sebelah utara Raya Dr. Sutomo, sebelah timur rumah Jalan Dr. Sutomo Nomor 53, sebelah selatan Brang gang adalah sah menurut hukum. Menyatakan akta Ikatan jual beli Nomor 13 tanggal 11 November 2016 yang dibuat oleh dan di hadapan tergugat III adalah batal demi hukum oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum. Menghukum TERGUGAT I, II, dan III secara tanggung renteng untuk mengganti kerugian kepada PENGGUGAT sebesar Rp 11 miliar,” tulis petitum dari gugatan yang diajukan penggugat dengan nomor perkara 151/Pdt.G/2025/PN Sby.
Selain itu, penggugat juga mengklaim mengalami kerugian immateril yang menyebabkan depresi berat. Ia menuntut kompensasi sebesar Rp 10 miliar untuk kerugian immateril tersebut.
“Menghukum TERGUGAT I, TERGUGAT II dan TERGUGAT III untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1 juta setiap hari keterlambatan memenuhi isi putusan, terhitung sejak putusan diucapkan hingga dilaksanakan,” tulisnya dalam gugatan bernomor 151/Pdt.G/2025/PN Sby.(pfr/hil)
Sebagai bentuk apresiasi terhadap sumber berita, maka kami memberikan "backlink dofollow" untuk Detik Jatim . Hal ini bermanfaat untuk meningkatkan otoritas situs, kredibilitas situs, dan peringkat situs di mesin pencari. Tertarik bekerjasama? Hubungi kami »